Pagi tadi berangkat kerja, seperti biasa saya mengantar anak-anak ke sekolah mereka terlebih dahulu. Selepas anak-anak turun dari kendaraan masuk ke dalam pintu gerbang sekolahnya yang berada di jalan KH Dewantara, saya melanjutkan perjalanan ke tempat kerja saya. Saat baru jalan sekitar lima puluh meter dari gerbang sekolah tersebut, saya baru menyadari bahwa di langit di depan saya tergambar sebuah pemandangan alam yang sangat mempesona. Sebuah bentangan berwarna-warni berbentuk setengah lingkaran penuh terlihat secara sempurna.
Sebuah pelangi...di ujung langit sebelah barat.
Sangat indah! Subhanallah...

Sudah lama sekali saya tidak melihat langsung pelangi ini. Jadi sangat senang dan gembira bisa melihat lagi fenomena alam yang luar biasa ini. Sayangnya, anak-anak saya sudah turun dan mungkin tidak sempat melihat pelangi ini, satu objek yang baru mereka lihat di film, buku-buku atau majalah.

Saya jadi ingat masa kecil di kota kelahiran saya Bandung, saat itu munculnya pelangi lebih sering. Sehabis hujan, jika masih ada matahari bersinar kita bisa berharap munculnya pelangi ini. Biasanya di pagi atau sore.
”Katumbiri, katumbiri!...” begitu teriakan anak-anak pada masa itu, termasuk saya, begitu melihat pelangi ini (catatan: katumbiri memang istilah untuk pelangi dalam bahasa Sunda). Konon, katanya, munculnya pelangi ini pertanda bahwa para bidadari sedang turun dari kahyangan untuk mandi di telaga.
Namun, meskipun terlihat indah, ada larangan atau pamali, dalam melihat pelangi ini. Yaitu tidak boleh menunjuk pelangi itu dengan jari. Katanya, kalau melakukan hal itu, kita akan bisa terkena sakit mata.
Ha..ha...ha..lucu ya terdengarnya? Tapi begitulah, anggapan orang saat itu dan dulu pun saya percaya hal itu.

Pagi tadi memang di Cikarang hujan rintik-rintik, sementara matahari yang belum lama terbit sudah memancarkan sinarnya. Sehingga, terjadilah pembiasan sinar matahari oleh titik-titik air hujan ini menghasilkan spektrum yang secara dasar ada tujuh warna-warni. Kata anak-anak saya yang masih di sekolah dasar, warna pelangi adalah ”mejikuhibiniu” merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu, padahal dulu saya tahu singkatan untuk warna ini sesudah di bangku SMP.

Karena membutuhkan sudut tertentu dalam pembiasan ini, pelangi ini biasanya terjadi sore atau pagi hari di mana matahari masih atau sudah berada di bawah. Namun, saya pun bertanya-tanya, kenapa sekarang pelangi di sekitar kita jarang muncul, terbukti sudah sekian lama saya tidak melihat pelangi ini. Apakah karena pengaruh perubahan iklim global, karena cuaca yang tidak menentu dan karena polusi udara yang gila-gilaan di lingkungan kita ini?
Mudah-mudahan anak-anak saya bisa melihatnya di kesempatan lain.











Pelangi terlihat di Cikarang Baru (Sumber gambar: courtesy of Ipoenk Poernomo http://www.facebook.com/poernomo.ipoenk)

Sewaktu memasuki gerbang Jababeka, pintu 1, benar-benar sangat terlihatlah keindahan dari sebuah mahakarya tersebut. Bentangan setengah lingkaran sempuran mejikuhibiniu tersebut menghiasi latar belakang gerbang Jababeka, sehingga menjadikannya bagaikan gapura yang sangat indah. Pelukismu agung! Kata lagu anak-anak. Really beatiful!
Benar-benar jarang terlihat!

Ada sayangnya, ....yaitu saat itu saya tidak membawa kamera digital saya sehingga tidak bisa mengabadikan fenomena alam yang luar biasa tersebut, sementara hape yang saya pakai adalah hape low-end yang tidak mempunyai fasilitas kamera. Menyesal juga!

Ada teman-teman di sini yang berkesempatan mengambil gambar pelangi tersebut?
Bagi dong fotonya!

CP, Jan 2010

http://ceppi-prihadi.blogspot.com

Baca Selengkapnya...

Pernahkah anda mengendarai sepeda motor di jalan raya dan mengalami kejadian tidak enak karena sesama pengendara kendaraan roda dua ini? Atau pernahkah anda sedang mengendarai mobil merasa kesal karena ulah para pengendara sepeda motor, yang seperti seenaknya pindah jalur, keluar dari jalan kecil memasuki jalan besar tanpa tengak-tengok, atau tiba-tiba menyelip di depan mobil anda? Saya tebak, pasti sering!

Berbicara bagaimana ke-kurang-sopan-santun-an para pengendara sepeda motor di sekitar kita, tidak lepas dari faktor terlalu mudahnya turunnya fasilitas kredit dari lembaga-lembaga keuangan yang memungkinkan pertambahan ribuan motor setiap bulannya di Indonesia, terutama di kota-kota besar yang fasilitas kendaraan umumnya sangat tidak memadai. Juga sangat mudahnya pihak kepolisian mengeluarkan izin mengemudi berupa SIM bagi para calon pengendara baru tanpa adanya seleksi yang ketat, termasuk pemeriksaan aspek psikologi mereka.

Saya sendiri sering menggunakan motor, meskipun sebatas di dalam lingkungan perumahan Cikarang Baru. Untuk jarak yang jauh-jauh, saya kurang pede dan rasanya selalu waswas. Saya punya pengalaman yang cukup berkesan, yang membuat adrenalin saya naik dalam menggunakan motor ini, sebagai pembonceng kawan saya (catatan: artinya saya yang duduk di belakang) pergi ke Bekasi Barat menyusuri jalan Kalimalng di suatu sore.

Wuihhh....motor yang jumlahnya ratusan bahkan mungkin ribuan bagaikan air bah menerjang semua ruang jalan! Di lampu merah, semua berusaha untuk tampil paling depan. Yang namanya mobil, harap tahu dirilah!

Dengan jarak yang sangat dekat, satu motor dengan motor lain, sebagian dari mereka seperti dengan tidak sabar menanti lampu merah berubah menjadi hijau. Tidak sedikit di antara mereka yang menunggu sambil menggeber-geber gas motornya.

Begitu lampu hijau menyala, bagaikan di sirkuit balap saat bendera start kotak-kotak diangkat, motor-motor itu melaju dengan kencang berusaha paling dahulu melewati perempatan. Selepas perempatan, pacuan itu makin sungguhan dengan laju motor yang makin kencang, karena mereka yang duluan melewati adalah para pengendara motor yang haus akan jalan yang masih kosong di depannya. Sementara yang di belakang, tinggal kebagian badan jalan yang sudah penuh dengan berbagai macam
kendaraan.













Hanya ilustrasi (sumber gambar: situsotomotif.com)

Kawan saya yang membawa motor mengikuti gaya mereka seperti itu, sementara saya yang duduk di belakangnya hanya bisa pasrah, karena saya tidak seberani mereka. Kadang-kadang saya (jujur deh) memejamkan mata saya karena merasa ngeri. Penakut ya? Mungkin, tapi saya tidak merasa sebegini takut jika sedang membawa mobil.

Kok mereka pada berani ya? Apa karena terpaksa, harus ikut-ikutan?
Kalau tidak ikut, dia akan tertinggal?

CP, Jan 2010
http://www.ceppi-prihadi.co.nr

Baca Selengkapnya...

Dulu pernah saya disodori teka-teki oleh seorang teman. Sampai sekarang, cerita teka-tekinya masih saya ingat, dan saya susun sendiri menjadi bentuk cerita yang sedikit berbeda. Begini ceritanya: (Mudah-mudahan anda tidak bingung menjawabnya)

tanda tanya
(Sumber gambar: thewashingtonnote.com)

Pada suatu siang, masuklah seorang pemuda ke dalam sebuah toko yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lalu mulailah dia mencari-cari beberapa barang yang dibutuhkannya, dan setelah barang-barang itu didapatkannya, pergilah pemuda itu ke meja kasir.
Penjaga toko yang bernama Ani itu menghitung harga barang-barang tersebut. Ada 5 item dengan nilai belanja total 30 ribu rupiah. Saat si pemuda membayar belanjaannya dengan selembar 50 ribu rupiah, Ani baru menyadari bahwa di laci meja tidak ada uang kembalian. Setelah meminta pemuda itu untuk menunggu, akhirnya Ani keluar toko sebentar menuju rumah makan di sebelah untuk menukarkan uang 50 ribuan itu dengan pecahan yang lebih kecil. Kembali ke toko, Ani langsung memberikan uang kembalian sebesar 20 ribu ke si pemuda, yang akhirnya pergi dengan barang belanjaannya.

Beberapa saat kemudian, datanglah bapak pemilik rumah makan sebelah ke toko tersebut dengan bersungut-sungut, bilang ke si Ani bahwa uang 50 ribu yang ditukarkan tadi adalah uang palsu. Sejenak Ani memperhatikan uang kertas yang dibawa Bapak tersebut, dan selintas dia ingat rupa uang yang tadi ditukarkannya. Pantesan, dalam hatinya, tadi dia punya firasat kurang enak. Rupanya uangnya palsu!
Akhirnya, dikeluarkanlah uang 50 ribuan yang lain, yang bukan uang palsu, dan diberikannya kepada si Bapak sebagai pengganti uang palsu yang tadi. Uang palsunya Ani pegang untuk kenang-kenangan agar dia lebih berhati-hati selanjutnya.

Pertanyaannya:
Berapa nilai kerugian yang diderita toko tersebut?

CP, Jan 2010
http://www.ceppi-prihadi.co.nr

Baca Selengkapnya...

Ada seorang teman sedang berusaha memasang telepon di rumahnya, karena rumahnya belum memiliki telepon. Nah, kalau disebut "memasang telpon", sudah barang tentu yang dimaksud adalah telepon rumah atau yang disebut PSTN (Public Switched Telephone Network). Hanya, teman tersebut harus menunggu informasi dari pihak Telkom apakah di daerah rumahnya, masih tersedia line kosong dari jaringan telepon yang ada. Agak ribet ya?

Beda sekali dengan kalau kita membeli pesawat telepon fixed wireless, dengan menggunakan kartu Esia atau Flexi. Hari ini beli, hari ini juga kita bisa menggunakannya untuk menelepon dan untuk menerima telepon.


Telepon rumah, masihkah diperlukan? (Sumber gambar: www.indonesiamedia.com)

Juga telepon rumah sekarang hitungannya mahal. Flag fall-nya saja (he.he.he maksudnya abonemen...eh, BUKAN ABODEMEN ya!) sudah sekitar 38ribu! Itu tanpa dipakai sama sekali.
Dengan telepon lain, dari jenis fixed wireless seperti Flexi atau Esia, nilai 38ribu sudah mendapat sekian jam untuk bicara.

Hanya, mungkin secara nilai, nomor telepon rumah bisa lebih dipercaya untuk dijadikan jaminan sesuatu, misalnya kalau kita punya usaha. Orang cenderung akan lebih percaya kalau kita memberikan nomor telepon rumah dari jenis fixed-line (telkom) dibandingkan nomor telepon rumah yang fixed wireless. Untuk mendapatkan layanan fixed-line ini, memang dibutuhkan identitas resmi dan juga alamat rumah resmi. Berbeda dengan fixed wireless, yang orang lebih banyak menggunakan jenis layanan prabayar dibandingkan pasca bayar, yang juga membutuhkan identitas resmi. Selain itu, karena sering ada kejadian kriminalitas yang memanfaatkan telepon fixed wireless ini, seperti kasus penipuan undian berhadiah atau sms berhadiah, nilai kepercayaan orang terhadap nomor telepon seperti ini agak kurang.

Namun demikian, tetap saja telepon fixed wireless ini makin memasyarakat, mengingat sangat mudahnya orang mendapatkannya. Tarif yang murah, disertai berbagai layanan lain yang bersifat nilai tambah, misalnya nada sambung pribadi atau nomor pemanggil yang bisa ditampilkan di layar, daya tarik telepon jenis ini tidak semakin berkurang.

Karena pemakaian telepon rumah dari jenis fixed-lie makin berkurang, tidak heran jika pihak Telkom merasa perlu memasang iklan di media termasuk televisi, untuk mengkampanyekan pemakaian telepon rumah/fixed-line. Lucu ya, zaman dulu sewaktu Telkom masih sebagai pemain tunggal saya ingat...Telkom sering kampanye agar kita se-efisien mungkin menggunakan telepon apalagi di jam sibuk, namun kini...
Begitulah kalau perusahaan plat merah mendapatkan saingan!..he.he.he..

CP, Jan 2010
http://ceppi-prihadi.blogspot.com

Baca Selengkapnya...

Kemeriahan perayaan dan hura-hura menyambut datangnya tahun baru 2010 usailah sudah. Kini kita kembali pada kehidupan nyata sehari-hari, yang masih penuh dengan kesulitan ekonomi di tengah suasana negara masih carut marut dengan kasus Century. Suasana duka pun masih menyelimut kita, dengan wafatnya salah satu guru bangsa kita Gus Dur, seorang humanis dan pluralis yang sangat konsisten.

Ada yang tersisa dari malam perayaan tahun baru kemarin, yang di Cikarang Baru terpusat di sekitar Jalan Kedasih/Kasuari/Anggrek/Puspa Raya, berupa ucapan selamat tahun baru. Sayangnya, ucapan ini dituangkan di atas tembok yang berada di tempat umum, yang jadinya ini merupakan suatu vandalisme.


"Vandalisme di tengah perayaan datangnya tahun baru"


"Sadarkah mereka bahwa tulisan ini merusak keindahan lingkungan? Pastinya tidak!"

Pelakunya bisa ditebak berasal dari kalangan muda, anak-anak muda yang sedang mencari jatidiri dan senang ekspresi diri mereka diperhatikan oleh orang banyak, salah satunya berbentuk grafiti. Namun kalau saja kebiasaan grafiti bisa disalurkan di tempat yang lebih pas, alangkah bagusnya buat mengembangkan bakat seni mereka dan juga lingkungan kita akan tetap terjaga bersih dan rapi.
Atau mereka belum tahu bahwa ada media yang bernama internet yang bisa menampung ucapan-ucapan seperti itu? Yang tidak saja bisa dibaca oleh pacarnya, teman-temannya, kelompok saingannya, namun semua orang di seluruh dunia bisa ikut membacanya! Dan mereka akan lebih bebas untuk menuangkan karyanya.

Kalau saja mereka akrab dengan dunia blog…tidak perlu tembok-tembok itu menjadi korban.

CP, Jan 2010
http://ceppi-prihadi.blogspot.com

Baca Selengkapnya...
;;